Manifestasi Haji Mabrur

 

ARTIKEL Dr. Mohd. Rafiq, S. Ag, M.A.

Ditinjau dari sosio-cultural, peningkatan jama’ah haji Indonesia dalam tiap tahunnya, menunjukkan betapa semangat keagamaan anak bangsa ini, sangat tinggi dan pesat. Fenomena ini memberikan kesan adanya kesadaran spiritual  yang semakin tumbuh dan melonjak, untuk menyempurnakan keberislaman kita dan kembali kepada fitrah yang suci dengan melakukan berbagai bentuk ibadah dengan-Nya, guna mengharap dan memperoleh puncak kemanusiaan tertinggi yakni taqwa.

Akan tetapi, kesempurnaan ketaatan dan kepatuhan kita kepada Allah bukan hanya diukur dengan banyaknya kuantitas amal ibadah melainkan sejauhmana ibadah tersebut dalam memberikan pengaruh yang baik dan signifikan terhadap kehidupan kita.

Maka dengan demikian, sikap dan prilaku kitalah nantinya yang menjadi tolak ukur apakah kita telah benar-benar mengabdi (beribadah) kepada Allah. Apakah haji yang kita tunaikan telah diterima di sisi-Nya (haji mabrur), itu semua akan terjawab dari sejauh mana makna haji itu terinternalisasi dan terkristal bagi kepribadian kita.

Uraian di atas, didukung dan sejalan dengan hadis Rasulullah SAW, yang berbunyi: “Seseorang ibadahnya tidak mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar, maka sesungguhnya ia bukan bertambah dekat dengan Allah SWT, bahkan ia akan semakin jauh dari-Nya” (HR. Bukhari Muslim). Hadis Rasul ini menginformasikan kepada kita bahwa hubungan kita secara vertikal kepada Allah yang dilalui dengan beberapa bentuk pengalaman ibadah ritual seperti shalat dan ibadah haji, tidak akan menambah posisi kita sebagai hamba yang memiliki atribut istimewa di sisi-Nya (taqwa), jika saja kemudian prilaku kita tidak mencerminkan kalau kita itu orang yang taat beribadah kepada-Nya, seperti prilaku yang tidak tepruji: KKN, sombong, dan tidak memiliki kepedulian sosial lainnya.

Persiapan Fisik Dan Mental

Dengan kian meningkatnya saudara kita yang ingin menunaikan ibadah haji dari segi kuantitas, telah menjadi ibadah ini sebagai ibadah yang memiliki nilai spritual yang tinggi. Derasnya animo dan hasrat kita untuk menunaikan ibadah yang yang memakan biaya yang cukup besar ini, juga telah menggeser status kultural kehajian yang dicerminkan melalui panggilan “Pak Haji” dan “Bu Hajjah” menjadi hal yang bukan lagi istimewa. Namun demikian kemampuan keuangan tidak juga cukup melainkan harus didukung dengan mental dan fisik yang baik. Oleh karena itu tahapan-tahapan persiapan sebelum melakukan ibadah haji pentinya kesiapan fisik dan mental dalam menjalankan ibadah haji.

Ini berarti, tuntutan baru bagi hujjaj yang memberikan makna kehajiannya, bukan sekedar panggilan haji, tetapi juga terletak kualitas kemabruran haji yang benar-benar dirasakan indah dan bermanfaat bagi orang lain. Kemabruran haji memang perlu untuk senantiasa dimunculkan dan dipelihara, sehingga terpersonafikasikannya kepribadian yang shaleh. Menjadi haji mabrur, tidak semudah mengucapkannya, tetapi juga tidak sesulit yang kita pikirkan, melainkan harus dibuktikan dengan prilaku-prilaku yang  bercirikan implikasi kehambaan kita kepada Allah.

Jika demikian halnya, maka terdapat harapan baru bagi saudara kita yang baru saja menunaikan ibadah haji ini, kiranya dapat memanifestasikan pesan spiritual kehajiannay di  tengah-tengah masyarakat. Dengan memaksimalkan mungkin memanifestasikan pesan kehajiannya tersebut, maka akan tampak transformasi diri, yang merekonstruksikan identitas dirinya menjadi pribadi yang indah dan empatik. Dapat diduga dan diyakini, jika saja anak bangsa ini, berhaji secara sadar dan baik dari segi niat dan tujuan, tentunya bangsa yang mayoritas dijabatani oleh bapak pimpinan yang sudah berlabel haji, akan semakin baik dan maju.

Ironis memang, jika setiap tahunnya anak bangsa berbondong-bondong ingin melaksanakan haji, namun potret moralitas kehidupan kita dalam berbangsa tidak senada dengan kwantitas kehajian kita. Ini, menjadi tolak ukur bahwa sebenarnya pelaksanaan haji kita hanya sekedar sebatas seremoni saja. Bahkan, bisa bergeser karena adanya nilai-nilai politis, atau politisasi status haji dalam sistem sosial kita, mengingat haji memberikan pesan tersendiri dalam kehidupan kita bermasyarakat.

Manifestasi Haji Mabrur

Penerapan nilai-nilai kesabaran ketakwaan, dan kerendahan hati selama menjalani ibadah haji. Peran penting niat ikhlas dan ketulusan dalam mencapai haji yang diterima. Al-Kisah, ketika sedang wukuf di Arafah seseorang yang bernama Abdullah Jauhar tertidur, kemudian dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Malaikat yang satu bertanya: “Berapa banyak orang yang wukuf tahun ini?”. Malaikat yang satu menjawab: “Hampir enam orang saja, dan tiap orang menanggung hak seratus orang”.

Abdullah Jauhar terkesima, kaget dan tersadar dari tidurnya. Namun dialog dalam mimpinya itu senantiasa lekak-lekak dalam pikirannya. Ketika telah berada di Masjidil Haram, tersedak dalam hatinya untuk mencari enam orang haji mabrur yang disebut malaikat dalam mimpinya itu. Abdullah bertanya kepada orang yang sedang beristirahat di masjid. Seseorang kemudian memberi tahu bahwa salah seorang yang ditanyakan itu bernama Ibnu Muaffiq.

Siapa Ibnu Muaffiq? ternyata ia adalah orang kaya asal Yaman yang telah pergi haji berkali-kali hampir setiap tahunnya, tetapi ia tidak pernah merasa puas dalam jiwa dan hatinya. Ada saja alasan dan dorongan yang membuatnya setiap tahun pergi haji. Pada tahun musim haji berikutnya, Ibnu Muaffaq sudah menyiapkan bekal untuk siap berangkat berhaji.

Tetapi secara tiba-tiba istrinya yang sedang hamil muda mendadak jatuh sakit dan sangat ingin makan daging kambing yang direbus. Setelah hari sudah senja Ibnu Muaffaq mencari keluar, tetapi saat itu tidak seorangpun yang memotong kambing. Dengan penuh sesal dan kecewa ia balik untuk pulang, namun di tengah perjalanan ia mencium bau menyengat daging kambing yang sedang direbus. Setelah ditelusuri ternyata wangi sedap yang menyengat itu berasal dari sebuah rumah tua yang sedang dihuni oleh seorang tua bersama beberapa anak yatim dan asuhannya.

Ibnu Muaffiq meminta sepotong daging tersebut dari orang tua itu, tetapi orang itu mengatakan: bahwa daging tersebut tidak memadai untuk dibagi-bagikakan lagi, bahkan untuk anak yatim dan asuhannya yang lain tidaklah cukup. Mendengar perkataan orang tua tersebut ia pun pulang tanpa sekerat daging.

Namun, tanpa sedikitpun ia menduga, sesampainya di rumah, ia disambut oleh istrinya dengan wajah berseri karena ia ternyata sudah sembuh. Ibnu Muaffaq kemudian merenung dan seketika ia bergegas berangkat membawa seluruh perbekalan untuk haji untuk diserahkan kepada orang tua dan anak yatim dan anak asuhannya itu.

Dari peristiwa yang cukup berharga dan menakjubkan Ibnu Muaffaq seakan akan tersadar diri dan merasa ada pesan moral yang cukup penting yang dapat dipetik dari peristiwa itu, sehingga ada semacam petunjuk yang ia rasakan bahwa sesungguhnya apa yang ia lakukan itu adalah merupakan refleksi cerminan haji mabrur yang sudah sering dilaksanakan sebelum-sebelumnya.

Kisah di atas memberi pelajaran bagi kita bahwa banyak orang yang sudah berniat haji, karena sesuatu halangan yang mendesak tiba-tiba ia harus membatalkan untuk menunaikan ibadah haji. Jika saja kita mampu untuk menguak tabir dibalik kisah Ibnu Muaffaq tadi, bahwa kesadaran sosial merupakan tanda-tanda atau refleksi dari sebuah pelaksanaan haji mabrur, bagi kita yang sudah pernah berhaji dan akan menunaikannya.

Pengalaman dan Pembelajaran

Cerita-cerita inspiratif dari para jamaah haji yang berhasil mencapai haji mabrur, menjadi pembelajaran yang dapat diambil dari pengalaman mereka dalam mencapai tujuan ibadah haji yang sejati. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Muaffaq beliau dengan ikhlas dan rela mau menggunakan dana hajinya untuk kepentingan sosial dan pengembangannya. Perubahan dan transformasi identitas diri yang lebih mempesona, bersahaja, simpatik/empatik, peka terhadap lingkungan, cerminan yang utama dari perjalanan dan pengalaman keseharian kita pasca kehajian kita.

Dengan identitas baru itu, seorang haji merasa bahwa ia kini tidak lagi miliknya dirinya sendiri, tetapi juga milik umat Islam. Agaknya akan lebih bermakna, jika keadaan mereka lebih diakui, lebih diterima, bahkan lebih dihormati untuk mengambil peran lebih aktif dalam masyarakat, sebagaimana idealnya tuntutan bagi seorang muslim yang telah menyempurnakan rukun Islamnya.

Kesimpulan

Sebagai seorang muslim yang baik, tentunya ia sangat berharap agar ibadah haji yang dilaksanakannya bukan hanya sekedar menambah atribut baru yang hanya bersifat penghormatan, dengan panggilan “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”. Namun, makna penting dari hikmah kehajian kita terletak pada akhlak pribadi yang muncul dari amal perbuatan terpuji yang imperatif. Transformasi diri dari identitas yang mempesona seperti itulah, tampaknya makna kehajian kita menjadi haji mabrur. (Penulis adalah Dosen di Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *