Kawin Paksa Politik 

Berita Utama, Opini370 Dilihat

ARTIKEL: H M Asroi Saputra, MA

Kawin paksa dalam percaturan politik bukan barang baru lagi, dan acap kali menjadi kejutan-kejutan pada pertarungan politik seperti kontestasi pilkada.

Topik tentang kawin paksa dalam konteks Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Indonesia bisa mencakup banyak aspek, mulai dari isu politik, sosial, dan budaya.

Forced Political Marriage dalam bahasa asing adalah Kawin paksa politik, kejadian kawin paksa politik ini terjadi pada situasi di mana dua atau lebih pihak politik—baik itu individu, partai, atau kelompok—dipaksa atau didorong untuk berkoalisi atau bekerja sama oleh kekuatan eksternal.

Fenomena ini sering kali muncul dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan legislatif, atau pemilihan presiden, di mana berbagai kepentingan bersaing untuk memperoleh kekuasaan.

Contoh kasus kawin paksa politik dapat dilihat dalam berbagai Pilkada di Indonesia, di mana partai-partai besar sering kali membentuk koalisi yang tidak biasa atau mendukung calon independen untuk memastikan kemenangan.

Dalam banyak kasus, calon yang awalnya bersaing mungkin dipaksa untuk bergabung dalam satu tiket atau mendukung satu calon demi kepentingan partai atau donatur.

Biasanya di temukan beberapa asfek yang menyebabkan kawin paksa politik ini bisa terjadi, salah satunya adalah Kepentingan Politik, partai-partai politik atau elit politik mungkin memaksa kolaborasi atau aliansi antara calon-calon untuk memperkuat posisi mereka dan memenangkan pemilihan. Hal ini sering kali terjadi untuk mengkonsolidasikan dukungan dan mengurangi fragmentasi suara.

Tidak hanya itu, kontestasi pilkada tentunya membutuhkan cost politik yang cukup tinggi, maka tekanan dari pemodal pun bisa menjadi penyebabnya, para pemodal atau donor besar sering kali memiliki kepentingan dalam hasil Pilkada dan dapat memaksakan kerjasama antara kandidat untuk memastikan bahwa kepentingan mereka tetap terjaga.

Kawin paksa politik ini juga boleh jadi merupakan strategi pemecahan suara, karena dalam beberapa kasus, kawin paksa mungkin terjadi untuk memecah suara lawan. Dengan menggabungkan beberapa calon atau partai, mereka dapat memastikan bahwa suara lawan terbagi dan mengurangi peluang kemenangan mereka.

Tidak sampai disitu saja. Akhir-akhir ini sering didengar istilah dukungan dari pusat, dalam sistem politik Indonesia, dukungan dari pusat atau pemerintah pusat sering kali berperan besar dalam Pilkada. Partai atau kandidat mungkin dipaksa untuk bekerja sama oleh pemimpin partai di tingkat nasional untuk mendapatkan dukungan resmi dan sumber daya, yang pada akhirnya kompromi elit politik lokal di tingkat lokal, juga dapat menjadi penyebabnya elit politik mungkin memaksa kandidat untuk bekerja sama atau bergabung dalam satu koalisi untuk menjaga stabilitas politik dan menghindari konflik terbuka yang bisa merusak komunitas lokal.

Jika kawin paksa politik ini terus terjadi, kita akan mendapati dampak yang diakibatkannya, seperti efektivitas pemerintahan yang kurang efektif dikarenakan aliansi yang dibentuk mungkin tidak solid karena bisanya memiliki visi yang berbeda. Maka ini akan berakibat pada pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan yang lambat dan tidak tepat. Tidak hanya itu, kawin paksa politik ini akan mempengaruhi kepercayaan publik.

Publik akan melihat bahwa kawin paksa politik sebagai bentuk manipulatif dan tidak transparan, akibatnya adalah rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan pemimpin yang terpilih. dengan demikian, stabilitas politik juga terganggu karena di satu sisi, kawin paksa politik bisa membawa stabilitas jangka pendek, tetapi di sisi lain, bisa menyebabkan ketegangan dan konflik jangka panjang jika kepentingan dan tujuan para pihak yang terlibat tidak sejalan.

Dapat kita simpulkan bahwa kawin paksa politik menjadi ancaman yang besar untuk Integritas Proses Demokrasi, karena praktik ini jelas merusak integritas proses demokrasi, karena calon-calon yang dipaksa berkoalisi mungkin tidak benar-benar mewakili kehendak atau pilihan masyarakat. Sehingga, kawin paksa politik adalah fenomena yang mencerminkan kompleksitas dan dinamika kekuasaan dalam politik.

Meskipun mungkin memberikan keuntungan jangka pendek dalam hal memenangkan pemilihan atau menjaga stabilitas, praktik ini sering kali menimbulkan masalah dalam hal efektivitas pemerintahan, kepercayaan publik, dan integritas proses demokrasi.

=====

(Penulis adalah Kepala Kantor Urusan Agama Padangsidimpuan Utara, yang sedang mengikuti kuliah program doktor di UIN SU) 

=====

geraimedia.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, merupakan pendapat pribadi/tunggal) penulis, belum pernah dimuat dan tidak dikirim ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto penulis (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]

Editor

Ikhwan Nasution

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *