Siapa Sesungguhnya yang Berdaulat pada Saat Pemilihan Umum

ARTIKEL: Parulian Nasution

Jika Pemilihan Umum dipahami sebagai pendidikan politik, maka setiap elemen dalam masyarakat tanpa sadar tengah berkontribusi meneguhkan batas-batas ‘kedaulatan’ di antara sesama elemen dalam takaran yang terukur dan bermartabat.

Memahami Pemilihan Umum dalam konteks ini, tidak ada satupun elemen dalam kepemiluan, terutama para bakal calon kepala daerah (balonkada), diberi anugerah absolut dari langit untuk menguasai elemen lain tanpa takaran. Tidak ada satupun elemen dalam hal ini, terutama balonkada, yang dapat diberi sertifikat mengklaim lebih berjasa daripada yang lain.

Ibarat relasi antara orang tua dan anak, adalah keliru jika ada pemahaman bahwa anak menjadi pintar hanya karena jasa kedua orang tua yang telah memperkenalkan huruf dan merangkainya sehingga sang anak pandai membaca, mengajari angka, sehingga sang anak dapat berhitung, tambah-kurang-bagi.

Adalah benar bahwa kedua orang tua melakukan semua hal yang baik seperti itu, memperkenalkan dan mengajarkan huruf dan angka. Namun, bukan berarti bahwa sang anak didudukkan dalam posisi yang sangat tidak berarti. Dalam relasi orang tua dan anak, bukankah sang anak juga berkontribusi memberi pelajaran inspiratif tentang hidup kepada kedua orang tuanya, tentang bagaimana menjalani hidup secara lebih bertanggung jawab terhadap keluarga?

Dalam ilmu politik, tidak pernah dibahas tentang ‘fungsi dan peran orang tua dan anak dalam politik’. Pendidikan hakekatnya adalah dua arah. Pendidikan politik seharusnya kembali pada hakekatnya. Pemilihan umum sebagai “pendidikan politik” menempatkan kedaulatan pada setiap elemen dalam kepemiluan dalam konfigurasi tanggung jawab bersama, menuju kebaikan yang simbiosis-mutualis.

Jika memahami pemilihan umum sebagai ‘pemasaran dan pengawasan atas ide, gagasan, prestasi yang dikemas dalam visi misi para balonkada’, ini menempatkan bandul kedaulatan berada di tangan pemilik suara, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Melalui pemahaman bahwa pemilihan umum merupakan instrumen pemasaran program dan pengawasan program, maka kedudukan rakyat sebagai pemilih secara kualitatif lebih tinggi dibandingkan bakal calon kepala daerah (balonkada). Inilah yang disebut dengan kedaulatan rakyat, atau rakyatlah yang berdaulat, atau yang populer disebut ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’. Persoalannya adalah: sudah cerdaskah pemilih itu? Sudah dibekali kah rakyat itu dengan pendidikan politik yang demokratis? Ataukah lebih dekat dengan demo grazy?

Ini hanya mungkin terjadi jika rakyatnya tahu akan hal itu serta ‘kuat dan setia merawatnya’. Pun, tidak boleh ada praktek perilaku cawe-cawe yang liar dan ambisius, apalagi hanya didorong oleh cost politik yang tinggi yang mengarah pada kapitalisme politik, tetapi tidak diikuti dengan pemenuhan kriteria penguasaan keilmuan yang jelas tentang manajemen birokrasi, manajemen perencanaan, dan manajemen pelayanan publik demi percepatan kemajuan suatu daerah.

Nah, jika pemilu dipahami sebagai ‘pesta demokrasi’, maka siapa yang sesungguhnya efektif berdaulat saat pemilihan umum berlangsung? Rakyat hanya sebagai apa? Adakah dia menjadi penentu? Kuatkah dia menampilkan hal yang inspiratif, aspiratif, dan motivatif menuju kualitas pemilihan umum yang berderajat tinggi?

Dalam setiap kesempatan kita harus terus meyakinkan rakyat bahwa pemilu semata-mata untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, diperlukan kegiatan kampus yang mengarah pada kegiatan ‘forum kepemiluan’. Saya seringkali menyampaikan ini kepada aktivis kampus, namun upaya ke arah ini masih terlalu jauh, bahkan lebih mengarah pada hal-hal yang pragmatis daripada yang rasionalis. Maka, saya tidak mau atau terlalu berat untuk ikut-ikutan menyebut bahwa ‘pemilu umum sebagai pesta demokrasi’.

Rakyat menjadi teralienasi dan tereliminasi eksistensinya karena lebih mengedepankan kepentingan sesaat daripada kepentingan yang terus menerus demi memperjuangkan keadilan dan kemakmuran rakyat. Selanjutnya, kita harus kaji lebih dalam apakah pemilu masih mengedepankan kedaulatan Tuhan dan kedaulatan hukum, atau hanya berharap kedaulatan negara? Saatnya rakyat menabrak tradisi yang tidak bisa dipertahankan lagi dengan merubah pola pikir, sikap, dan perilaku yang aktif dan konstruktif demi partisipasi pembangunan suatu daerah yang maju dan modern.

=====

(Penulis adalah Eksekutif Peradaban) 

=====

GeraiMedia.Com. menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, merupakan pendapat pribadi/tunggal) penulis, belum pernah dimuat dan tidak dikirim ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto penulis (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 1500-2000 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]

Editor: Ikhwan Nasution

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *