ARTIKEL: Parulian Nasution
Mencermati pengunduran diri Ketua Umum Golkar, saya ingin merefleksikan kembali ingatan saya meskipun tidak terlalu detail. Sejak saya diangkat sebagai PNS pada tahun 1987, saya menerima Kartu Golkar. Saat itu, Golkar dikenal sebagai Organisasi Karya dan Kekaryaan yang lebih mengedepankan semangat pengabdian untuk membangun bangsa yang Pancasilais. Artinya, semangat kekaryaan lebih menonjol dibandingkan semangat kepartaian. Sebagai abdi negara, kami merasa nyaman berada di bawah Pokoknya Beringin: Beringin Jaya, Golkar Menang, Rakyat Tenang. Namun, tuntutan Reformasi mengharuskan PNS untuk tidak berpartai dan harus independen, bebas dari intervensi partai.
Saat ini, Golkar menghadapi tantangan besar. Namun, saya yakin Golkar, sebagai partai yang sudah sangat dewasa, akan lebih mapan dalam mencari solusi penyelesaian masalah setelah terlebih dahulu mengidentifikasi berbagai problem. Solusi yang dihasilkan akan mengarah pada penyelesaian dengan rencana aksi yang jelas.
Partai Golkar telah lama menjadi kekuatan politik dominan di Indonesia. Sejak berdiri pada masa Orde Baru, Golkar bukan sekadar partai politik, melainkan simbol kekuasaan yang menyentuh hampir setiap aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, partai ini menjadi alat utama dalam menjalankan kebijakan pemerintah.
Selama 32 tahun, Golkar berperan sebagai pilar utama dalam menjaga stabilitas politik dan stabilitas nasional yang mantap, dinamis, serta terkendali, didukung oleh kader desa di seluruh pelosok Nusantara, Indonesia yang kita cintai dengan semangat nasionalis yang tinggi. Keputusan-keputusan Golkar pada masa itu selalu menjadi keputusan pemerintah yang dijalankan tanpa banyak perdebatan.
Namun, situasi berubah drastis ketika era Reformasi dimulai. Pada tahun 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya di tengah gelombang tuntutan reformasi yang melanda seluruh negeri. Meskipun Soeharto mundur, Golkar tetap berdiri. Dalam masa transisi tersebut, Golkar menghadapi tekanan luar biasa. Banyak pihak, termasuk mungkin Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mencoba untuk membubarkan partai ini. Melalui sebuah dekrit, Gus Dur berupaya mengakhiri eksistensi Golkar, namun upaya ini gagal. Bahkan, Gus Dur akhirnya terdepak dari kursi kepresidenan, sementara Golkar tetap bertahan.
Dalam era reformasi, Golkar tidak hanya bertahan tetapi juga mengalami transformasi yang cukup signifikan. Kepemimpinan partai ini berganti-ganti seiring dengan perubahan zaman. Akbar Tandjung, yang pernah menjabat sebagai Menpora, Menpera, Mensesneg, dan Ketua DPR RI serta merupakan dedengkot HMI, KNPI, AMPI, dan penggagas Kelompok Cipayung yang tanggal 14 Agustus ini akan berulang tahun yang ke-79, adalah tokoh sentral dalam sejarah Golkar era Reformasi. Ia memimpin Golkar dalam periode yang penuh tantangan. Salah satu inovasi politik penting yang diluncurkan oleh Akbar Tandjung, yang selalu didampingi kader setianya Baharuddin Aritonang, adalah menghadirkan doktrin kesetiaan paradigma baru Golkar.
Di bawah kepemimpinannya, Golkar resmi disebut sebagai Partai Golkar, menandai peralihan dari sebuah organisasi yang lebih bersifat korporatif ke arah partai politik modern yang mengikuti kaidah demokrasi.
Salah satu tonggak penting dalam sejarah modern Golkar adalah pelaksanaan Konvensi Calon Presiden pada tahun 2004. Konvensi ini diikuti oleh lima tokoh besar: Akbar Tandjung, Wiranto, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Prabowo Subianto. Sebenarnya, ada satu nama lain yang turut mendaftar, yaitu cendekiawan Nurcholish Madjid, namun beliau mengundurkan diri sebelum proses pemilihan dimulai.
Dari hasil konvensi tersebut, Wiranto berhasil keluar sebagai pemenang, mengalahkan Akbar Tandjung yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Partai Golkar. Dengan kepiawaian politik dan jiwa besar, Akbar Tandjung menerima keputusan konvensi tersebut. Sosok seperti itu sangat sulit dicari.
Meski kalah dalam konvensi, Akbar Tandjung berhasil membawa Golkar meraih kemenangan dalam Pemilu 2004. Partai Golkar menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak dalam Pemilu langsung kedua di Indonesia. Kemudian, dari Desember 2004 hingga September 2009, Yusuf Kalla melanjutkan estafet kepemimpinan Golkar, cenderung berjalan dengan baik, dan mengantarkan visi misi Golkar yang berperadaban. Ini membuktikan bahwa meskipun partai ini kerap diwarnai konflik internal, Golkar tetap mampu menunjukkan kekuatannya di panggung politik nasional.
Konflik internal memang bukan hal asing bagi Golkar. Sejak era Reformasi, partai ini sering dihadapkan pada dinamika, dialektika, dan romantika internal yang kompleks. Namun, satu hal yang menjadi ciri khas Golkar adalah kemampuannya untuk menyelesaikan konflik dengan cara-cara demokratis.
Ketika peralihan kepemimpinan dari masa Orde Baru ke era Reformasi, Golkar harus melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) untuk mengatasi perbedaan pandangan di antara para anggotanya. Pernah juga terjadi dualisme kepemimpinan ketika Munas Jakarta/Ancol memilih Agung Laksono sebagai Ketua Umum, sementara Munas Bali memilih Aburizal Bakrie. Namun, kedua kubu ini akhirnya disatukan melalui Munaslub yang memilih Setya Novanto sebagai Ketua Umum.
Jika belakangan ini muncul isu mengenai pelaksanaan Munaslub di tubuh Partai Golkar, hal ini sebenarnya bukan hal baru. Munaslub merupakan bagian dari tradisi Golkar dalam mengelola dinamika internal partai. Bahkan, pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar beberapa waktu lalu diduga sudah melalui pertimbangan matang. Ini harus dipandang sebagai bagian dari strategi dan taktik/geopolitik besar partai untuk menghadapi tantangan masa depan yang prospektif.
Pengunduran diri ini, jika benar-benar berujung pada Munaslub, seharusnya dipahami sebagai upaya Golkar untuk memperkuat dirinya di tengah persaingan politik yang semakin ketat. Partai Golkar, dengan segala dinamika internalnya, telah menunjukkan berkali-kali bahwa konflik dapat dikelola dengan baik sehingga justru memperkuat soliditas partai dan solidaritas anggota.
Munaslub bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan mekanisme demokratis yang memungkinkan partai ini untuk tetap relevan dan kuat. Munaslub dan pengunduran diri Airlangga Hartarto adalah bagian dari strategi Golkar untuk memastikan bahwa partai ini tetap menjadi kekuatan utama dalam kancah politik Indonesia.
Sejarah telah menunjukkan bahwa Partai Golkar selalu mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, tidak akan tergilas zaman, dan sangat pandai membaca tanda-tanda zaman untuk mengelola konflik internalnya dengan bijak, serta keluar sebagai partai pemenang.
Dengan demikian, jika Munaslub benar-benar terjadi, kita tidak boleh melihatnya sebagai tanda kelemahan, melainkan sebagai cerminan dari kekuatan dan kedewasaan Partai Golkar dalam berpolitik. Dengan segala pengalaman dan sejarah panjangnya, Golkar terus berupaya mempertahankan posisinya sebagai salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia. Sejarah panjang inilah yang akan terus menjadi pijakan kuat bagi Golkar untuk melangkah ke depan, memperjuangkan kepentingan rakyat, dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik, yaitu Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
=====
(Penulis adalah Eksekutif Peradaban dan juga Anggota Golkar)
=====
geraimedia.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, merupakan pendapat pribadi/tunggal) penulis, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto penulis (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 1.500-2.000 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]
Editor
Ikhwan Nasution