ARTIKEL: Irwan Saleh Dalimunthe
Indonesia adalah negara yang sangat kaya, baik dari segi sumber daya alam, lautan, daratan, hingga udara yang memberikan kontribusi bagi kehidupan global. Secara historis, Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat memiliki perjalanan panjang. Salah satu kekuatan dan kebesaran bangsa ini adalah kemampuannya mengusir penjajah dan merumuskan falsafah bangsa, yaitu Pancasila, sebagai way of life yang sangat efektif dalam mempersatukan keragaman populasi penghuninya. Dari falsafah ini, diturunkan landasan konstitusi bangsa.
Pancasila muncul dari kemampuan bangsa untuk merumuskan Piagam Jakarta sebagai persiapan menjelang kemerdekaan Indonesia. Dari sanalah Pancasila ditetapkan pada tahun 1945. Intinya, bangsa ini menunjukkan jati dirinya melalui ungkapan kalimat Pancasila dengan lima sila. Artinya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang taat pada Tuhan Yang Maha Esa (ketuhanan), kemanusiaan, kerakyatan, persatuan, dan keadilan sosial, prinsip nilai Indonesia Merdeka.
Kini, setelah 79 tahun merdeka, bangsa ini masih menetapkan Pancasila sebagai dasar dan falsafahnya. Artinya, visi hidup yang dipilih masyarakat Indonesia adalah menuju kelima kalimat yang sangat baik dan luhur tersebut. Bangsa sepakat bahwa manusia Indonesia adalah yang dicita-citakan menjadi manusia yang taat pada Tuhan (iman dan takwa), menjunjung tinggi nilai kemanusiaan (ihsan), mengutamakan kepentingan rakyat banyak melalui sistem musyawarah dan mufakat (istihsan), berkeadilan (adil), dan bersatu dalam keteguhan dan keutuhan (muwahhidah).
Dengan usia mendekati satu abad, patutlah kita bertanya; ke arah manakah bangsa ini bergerak? Benarkah bangsa ini sudah bergerak menuju nilai luhur, dan apakah bangsa ini benar-benar berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yang seyogianya menjadi visi bangsa? Mengapa di area sosial banyak isyarat bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja? Inilah fokus bahasan dalam tulisan ini.
Pangkal Persoalan
Jika pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi landasan diskusi, maka jawabannya dapat diuraikan dengan melihat realitas kehidupan bangsa kita dari kelima aspek nilai dan prinsip di atas. Indikatornya adalah apakah sikap dan perilaku bangsa masih mencerminkan ketaatan kepada Tuhan, kemampuan mengaktualisasi nilai kemanusiaan (humanitas), solidaritas dan semangat kesatuan (egalitarian), kepemimpinan yang berpihak pada rakyat (amanah), serta menjunjung tinggi nilai keadilan yang berorientasi pada kecerdasan dan kesejahteraan sebagai visi pokok kemerdekaan.
Secara jujur, kita merasakan dan menyaksikan bahwa indikator tersebut semakin jauh dari harapan. Masyarakat sering menjadi objek sasaran dan pesakitan ekonomi, sering kali terjebak dalam kondisi yang memerlukan bantuan dari negara tanpa adanya pemberdayaan. Rakyat tampaknya kecanduan bantuan dan sangat menunggu bantuan pangan atau BLT. Belum lagi persoalan kesatuan bangsa, polarisasi semakin melebar. Tidak hanya masalah Aceh, Papua, Ambon, dan daerah lainnya yang mengancam integrasi bangsa, tetapi lembaga-lembaga negara kita sendiri juga sering saling berkonflik dan menzalimi, seperti yang baru-baru ini mencuat.
Fenomena pertarungan, seperti Cicak dan Buaya, jeruk makan jeruk dalam kasus Sambo yang melibatkan institusi penegak hukum, MK yang terjebak dalam campur tangan politik, himbauan kampus yang dianggap mengacau, demo buruh dan mahasiswa yang dianggap sebagai bentuk pemberontakan, hingga munculnya ide perpanjangan masa kepemimpinan, dan putusan hukum yang tajam ke bawah, semuanya berdampak pada rakyat karena di balik lembaga-lembaga tersebut terdapat masyarakat. Ini menjadi fenomena yang sangat krusial dan dapat merongrong keutuhan bangsa.
Keadaan di atas memberi isyarat bahwa bangsa kita sedang mengalami penyakit kronis, tidak baik-baik saja. Kita menghadapi masalah serius, khususnya dalam hal kesatuan, keadilan, serta rasa saling percaya yang semakin menipis. Jika ditarik pada aspek spiritualitas, menurunnya iman dan takwa serta munculnya karakter bangsa yang barbarian, terutama di kalangan muda, sangat mengkhawatirkan. Bayangkan bagaimana kondisi Indonesia 15 hingga 20 tahun ke depan jika tidak dikendalikan.
Kerisauan Pendidikan
Kerisauan ini semakin meningkat jika dipantau perjalanan pendidikan sebagai pencetak generasi yang diharapkan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Tidak hanya dunia persekolahan formal yang menghadapi masalah, tetapi pendidikan non-formal dan lingkungan sosial serta keluarga juga terjerat dalam arus degradasi dan krisis multidimensional. Ada sesuatu yang hilang dari dunia pendidikan kita, yaitu ketidakmampuan mewariskan semangat dan spirit hidup yang digerakkan oleh pemahaman ideologi. Pendidikan saat ini cenderung membina daya pikir pragmatik, realistis, dan materialistik, bahkan tanpa sadar membentuk mental manipulatif akibat sekularisme, menjauhkan Tuhan dari urusan kehidupan.
Melihat skala yang lebih besar dan jangka panjang, 35 hingga 40 tahun ke depan, saat populasi dunia mencapai 7 miliar orang dan Indonesia bisa mencapai 350 hingga 400 juta orang, masalah yang dihadapi akan semakin kompleks. Menurut Muhammad Nuh, dalam bukunya (2013:17), tantangan besar adalah pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan dan air (FEW: Food, Energy, and Water) serta pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat interaksi sosial, budaya, dan peradaban semakin rumit. Beliau juga menyoroti potensi dominasi peradaban atau bangsa tertentu yang dapat menyebabkan benturan antar peradaban.
Dalam posisi seperti ini, diperlukan generasi yang berpikiran tinggi, berkarakter, dan dibentuk oleh nilai budaya serta falsafah hidup bangsa secara kokoh. Generasi yang bangga dengan dirinya, memiliki jiwa dan roh yang kaya, serta hidup dengan elegan. Akar persoalan bangsa saat ini adalah hal-hal mendasar, yakni filosofi hidup yang membentuk pola pikir. Pikiran manusia bukan berkembang begitu saja, tetapi dibentuk oleh sistem hidup yang komprehensif. Memiliki akal sehat, seperti yang selalu didengungkan Roky Gerung, adalah kunci. Dan jawabannya tidak lain adalah pendidikan kita dengan segala dimensinya.
Memperbaharui Jalan
Melirik pikiran Muhammad Nuh, ia menekankan betapa pentingnya “Pendidikan Karakter”. Inikah yang dimaksud oleh Presiden Jokowi dengan “Revolusi Mental” di awal masa kepresidenannya, meski tidak terlihat arah dan maksudnya? Ucapan tersebut sering kali hanya dianggap sebagai retorika tanpa kejelasan. Muhammad Nuh menawarkan tiga kelompok pendidikan karakter: pertama, yang menumbuhkan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa; kedua, yang terkait dengan keilmuan; dan ketiga, yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia.
Pesan ini dapat diterjemahkan sebagai kebutuhan akan generasi berkarakter yang menjauh dari dosa, enggan berbohong, menipu, dan korupsi, serta memiliki integritas, kecerdasan, dan martabat. Seperti dikatakan penyair Mesir Ahmad Syauqi, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, “Eksistensi masyarakat ditentukan oleh tegaknya akhlak. Bila akhlak runtuh, pada saatnya mereka akan punah.”
Ironisnya, negara besar seperti Indonesia akan menghadapi tantangan besar jika ditangani oleh mereka yang tidak memahami dan menyadari rumusan ini, baik dalam bidang pendidikan maupun legislatif. Masalah besar ini tidak akan selesai tanpa kerja keras dan kehendak besar, sebagaimana diamanatkan oleh penggali cerdas dari BPUPKI dan PPKI pada masa-masa awal kemerdekaan. Semoga pendidikan kita tidak menjadi manifestasi dari neo-liberalisme, kolonialisasi, dan atheisasi yang bertentangan dengan falsafah Pancasila yang mengagungkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Keadilan, Kerakyatan, dan Persatuan. Jika tidak, masalah ini seyogianya mendapat perhatian serius dari seluruh elemen negara sebelum semuanya semakin kisruh atau Indonesia menuju kemusnahannya. Semoga tidak demikian.
=====
(Penulis adalah Dosen Filsafat Pendidikan di UIN Syahada Padangsidimpuan)
=====
geraimedia.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, merupakan pendapat pribadi/tunggal) penulis, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto penulis (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 1.500-2.000 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]
Editor
Ikhwan Nasution